Ludah dan Keintiman Politis (Berpikir melalui “Pamit Ronda”, bagian 2-cus)

Saya ingat betul momen ketika wajah saya terkena percik ludah salah satu aktor Pamit Ronda, Siti Fauziah (Ozi), yang berperan sebagai seorang ibu-ibu dengan gaya bicara seperti repetan gelegar geledek. Dari mulutnya dialog nyap-nyap menyambar bertubi-tubi, seraya itu serangan percik ludahnya terjun bebas dan mendarat lancang di pipi kanan saya; saya kaget-kaget genit, spontan terkekeh, memisuh kecil, kemudian segera mengusap wajah dengan tangan yang belum ter-hipersterilisasi seperti sekarang.

Impresi atas percikan ludah itu awalnya menghampiri saya sebagai paranoia kemungkinan tertular virus korona. Pamit Ronda, yang merupakan bagian dari “Parade Teater Taman Budaya Yogyakarta Linimasa #3: Kepingan Memori”, adalah pertunjukan langsung terakhir yang saya hadiri sebelum anjuran karantina mandiri mulai berdengung massif. Dua tiga minggu berlalu dan di tengah kecamuk perasaan-perasaan lain yang berhubungan dengan isi dompet, saya masih terus meladeni “kepingan memori” percikan ludah itu.

Paranoia perlahan menjelma menjadi nostalgia; di kala tubuh terkungkung dalam rumah petak, percik ludah Ozi menggenangi kepala saya dengan ingatan pengalaman spasial yang disodorkan oleh pertunjukan Pamit Ronda.

Pada pertunjukan itu, penonton diajak duduk lesehan melingkari arena panggung dan mengisi daerah-daerah kosong di antara properti-properti pertunjukan. Forum Aktor Yogya tampil setelah pentas drama musikal Mas Guru Sugiyo menyuguhkan pertunjukannya dalam bingkai panggung proscenium yang disediakan arsitektur concert hall TBY. Sutradara Pamit Ronda, Verry Handayani, menjelaskan bahwa menurutnya tatanan concert hall TBY terlalu berjarak. Ia menginginkan pertunjukan teater Forum Aktor ditonton dari dekat agar terasa lebih gayeng dan guyub, intim.

Saya beranjak dari kursi beludru merah yang sudah berderit dan mematuhi instruksi naik ke panggung. Sebagian penonton lain tetap memilih duduk di kursi, entah karena preferensi pribadi atau karena kenyataannya panggung memang tidak cukup menampung segepok penonton yang memenuhi gedung malam itu.

Foto panggung Pamit Ronda diambil dari titik lokasi duduk saya.

Percik ludah yang saya terima adalah suatu kebetulan sepele yang termanifestasi karena jarak duduk penonton dsituasikan sangat dekat dengan para aktor. Ia mungkin hanya bernilai anekdotal, tetapi ketika diletakkan di tengah latar pandemi hari ini, ia juga memerikan pertanyaan bagaimana praktik spasial dan penciptaan keintiman mungkin akan berubah dalam konteks pergerakan virus korona yang menular lewat droplet batuk atau bersin.

Apakah percik ludah Ozi adalah percik ludah terakhir yang akan menyambar saya dalam pertunjukan langsung? Tentu di sini saya bukan sedang menyatakan fetisisme pada muncratan cairan tubuh orang lain.

Tetapi apa sebenarnya keintiman itu?

Tatkala peraturan pembatasan fisik berskala besar segera diikuti dengan pemunduran bahkan pembatalan berbagai acara kesenian sampai waktu yang tak pasti, dan di antara keluh kesah persoalan ekonomi yang pasti (dan memang perlu) muncul dalam berbagai forum diskusi online; saya mendengar ratapan-ratapan tentang hilangnya keintiman yang tidak mungkin digantikan oleh pertemuan online. Seorang aktor bahkan mengatakan bahwa bau keringat penonton merupakan unsur krusial yang membuat aktingnya lebih hidup. Mungkin kami sama sentimentalnya, namun saya sadar keintiman percik ludah atau bau keringat belum tentu akan terasa begitu menggoda tanpa pandemi korona.

Keintiman adalah selalu tentang hubungan dan praktik kebersamaan, meski pengertiannya bisa jamak. Ia berada dalam ranah pengalaman interpersonal, berlangsung dua arah atau lebih, dan sebagai konsep ia licin, tak bisa dicengkeram oleh definisi tunggal.

Dalam pengertian tersempitnya, keintiman umum disangkutpautkan dengan seks—oleh karenanya kita punya istilah “organ intim” dan “hubungan intim”—yang secara konvensional mensyaratkan kontak fisik antara pihak-pihak yang terlibat. Sementara dalam pengertian terluasnya, keintiman menyarankan kualitas interaksi sosial seperti kedekatan, kedalaman, keakraban, kemesraan, keeratan, kesamaan rasa. Semuanya mencakup bagaimana kebersamaan dibentuk oleh kontak emosional dan/atau intelektual.

Pengertian-pengertian keintiman ini, baik yang sempit maupun yang luas, yang fisikal maupun yang emosional/intelektual, saling berkelindan seperti seks dan cinta—meski bukan berarti keduanya tidak dapat dipisahkan (ya, kan? ya nggak, sih?!).[1]

Keintiman dalam Pamit Ronda mengandung upaya pendekatan secara fisik (penonton maju ke panggung) untuk mencapai kedekatan emosional (“gayeng” dan “guyub”). Dalam konteks gerak gerik seni teater di Yogyakarta—sejauh pengalaman saya yang cakupannya tidak lebih luas dari kamar kos 250 ribuan—pilihan ruang yang kecil dan jumlah penonton yang tidak massif juga ada hubungannya dengan modal jaringan sosial yang merawat kehidupan komunitas teater di kota ini.

Tetapi secara umum keintiman dalam pertunjukan kerap diartikan sebagai kedekatan fisik antara penonton dan tontonannya. “Intimate concert”, misalnya, biasa terjadi di ruang kecil dengan penonton eksklusif. Wacana format kebersamaan ini membayangkan bahwa keintiman tercipta ketika penonton menjadi lebih dekat secara fisik dengan tontonannya. Format semacam inilah yang memungkinkan saya menerima bonus percik ludah dari Pamit Ronda.

Apakah pembatasan fisik akan memupuk kerinduan kolektif yang lebih mendalam pada kontak magis “ludah” dan “keringat”, atau sebaliknya malah merontokkan mistifikasi atas sentimen-sentimen kedekatan fisik itu, saya tidak tahu.

Tetapi di tengah prasangka-prasangka berkepanjangan tentang hilangnya keintiman dalam perisitwa-peristiwa online, saya ingin mengatakan bahwa keintiman pertunjukan langsung sebetulnya tidak terjadi begitu saja (given). Hanya karena kita bertemu secara fisik dalam ikatan ruang dan waktu “di sini dan kini” yang mengandung kualitas kesegeraan (“immediacy”), bukan berarti keintiman otomatis tercapai. Saya sadar ini adalah pernyataan obvious, terang benderang, tidak kontroversial. Namun faktanya ketika ratapan atas pembatasan fisik selalu dinegasikan dengan pertemuan online, dengan cepat muncul prasangka-prasangka konservatif bahwa keintiman pengalaman fisik selalu lebih superior daripada online.

Toh dalam keadaan kepepet, semakin banyak pula diskusi-diskusi yang bernada lebih optimistis mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan praktik estetik di ruang online. Pada saat yang sama, rasanya kita juga perlu menempuh evaluasi kritis atas apa saja sebenarnya modalitas berharga dari pertunjukan fisik. Dan jika kita membayangkan masa depan di mana kesenian tidak serta merta bertumpu total pada pengalaman online, bagaimana kita dapat bersiasat untuk menciptakan keintiman kolektif yang lebih luas dari perkara sentimen “ludah” dan “keringat”?

***

Pamit Ronda menunjukkan bahwa konfigurasi spasial dalam pertemuan fisik—atau bagaimana ruang relasional antara penonton dan tontonan ditata oleh peristiwa teater—merupakan elemen esensial untuk menubuhkan wacana kebersamaan dan keintiman yang ditawarkannya.

Duduk lesehan dalam pentas itu mengakrabi gestur cakrukan/nongkrong yang biasa terjadi di pos ronda (atau cakruk, dalam bahasa Jawa). Produksi keintimannya juga bisa dibaca merujuk pada bentuk penubuhan budaya menonton Dagelan Mataraman, yang historisitas ruang menontonnya berbeda dengan gedung teater modern. Penciptaan keintiman didukung pula dengan dialog bahasa Jawa ngoko yang diakrabi para penonton di Taman Budaya Yogyakarta. Banyolan-banyolan ala ketoprak mengalir mulus dan berhasil memancing umpan balik tawa penonton yang duduk lesehan berkeplok-keplokan bagai ajudan-ajudan Tukul Arwana.

Dengan kata lain, keintiman juga selalu diberlangsungkan oleh konteks peruangan, penubuhan, dan pembahasaan budaya keseharian. “Di sini dan kini” bukan hanya berarti batasan spasio-temporal yang mengikat momen peristiwa langsung, tapi juga pertemuan teater dengan keseharian tempat dan masa di mana ia berpijak.

Untuk menciptakan keintiman kolektif yang menubuh, pemanggungan juga perlu memikirkan di mana dan bagaimana tubuh penonton dikumpulkan dan diorganisir. Itu dilakukan Pamit Ronda bukan dengan mengubah infrastruktur fisik (sebab membangun panggung adalah suatu kemewahan yang tidak dimiliki semua produksi pertunjukan) melainkan dengan menegosiasikan relasi spasial penonton dengan panggung. Pengorganisasian tubuh penonton juga tampak sangat berhubungan dengan referensi budaya menonton/berkumpul yang dibawakan teks naskahnya. Artinya, membentuk “di sini dan kini” membutuhkan kesadaran relasi spasial kritis atas infrastruktur fisik dan sosial yang menjadi tempat pertunjukannya berpijak.[2]

Kesadaran kritis ini, agaknya, menjadi semakin penting pada saat pilihan yang dimiliki oleh pertunjukan langsung untuk bernegosiasi dengan korona sudah bukan hanya bermigrasi online, melainkan juga berkreativitas dengan konfigurasi relasi sosial-spasialnya di ruang fisik.

Sejak gembar-gembor imbauan #dirumahaja, acara-acara talk show televisi “meliburkan” penonton-penonton bayarannya. Kehadiran para penonton bayaran digantikan dengan suara rekaman tawa dan tepuk tangan; suatu trik produksi kemeriahan palsu yang sebetulnya sudah umum di televisi. Penonton bayaran sebetulnya diposisikan sebagai pelengkap yang non-esensial. Hanya pada hari-hari pertama saja para pembawa acara mengaku sedikit canggung karena mereka merasa tidak ditonton. Tetapi setelah para penampil mengadaptasikan mentalnya, acara televisi terasa berjalan seperti biasa saja. Dan para penonton bayaran pun terpaksa mencari makan di tempat lain, entah sampai kapan.

Saya kira kerja-kerja kesenian progresif selalu menginginkan relasi yang lebih mendalam dengan penontonnya: relasi yang tidak selalu bersifat transaksional, relasi yang interdependen, relasi yang emansipatoris, dan relasi yang mampu menciptakan keintiman kolektif. Inilah yang membuat wacana kebersamaannya berbeda dengan model-model tontonan yang hanya berpusat pada eksistensi penampil. Bagaimana penonton menjadi esensial dalam pertunjukan langsung?

Kita mungkin bisa menengok kembali ke pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimunculkan oleh berbagai eksperimen moda kepenontonan dan wacana pemanggungannya.

Tubuh Ketiga (2010) karya Teater Garasi menggiring tubuh penonton bergerak duduk dan berdiri serta berpindah mengikuti alur tubuh-tubuh aktor yang menjelma menjadi tontonan konser dangdut, joget ronggeng, pawai liongsai, dll. Beragam bentuk tontonan rakyat yang digali Garasi dari situs penelitian artistiknya di Indramayu dan daerah Pantura membentuk pula formasi kolektif tubuh penonton. Panggung diciptakan melalui proses yang digerakkan bersama kerumunan penonton, dan penonton adalah bagian esensial dari terbentuknya pertunjukannya.

Tangkapan layar dari sorotan dokumentasi Tubuh Ketiga.

Moda kepenontonan Tubuh Ketiga tentu saja tidak mungkin dilangsungkan dalam kondisi pembatasan fisik seperti hari ini. Terlalu banyak bahu dan lutut yang akan saling tubruk. Akan tetapi, wacana pemanggungannya mengajak kita berpikir bagaimana konfigurasi tubuh penonton dapat digerakkan untuk mengelola situs pertunjukan secara kolektif. Dalam bentuk peristiwa teater seperti ini, di luar sentimen “ludah” dan “keringat”, pertunjukan langsung jadi tampak memiliki kualitas kebersamaan yang sulit diterjemahkan oleh teknologi online.  

Contoh selanjutnya mungkin akan semakin relevan untuk diperhitungkan bentuknya dalam konteks penjarakkan fisik selama pandemi. Pertunjukan Margi Wuta (2013) Joned Suryatmoko/Teater Gardanalla mengelola tempat duduk penontonnya (yang dibuat menonton dengan mata ditutup) dalam jarak antar kursi kurang lebih 50 cm. Lokasi kursi-kursi penonton dibuat terpencar di antara fragmen-fragmen panggung yang batasannya ditampakkan oleh kelambu putih tipis. Saya menduga pemencaran duduk ini dikonstruksi agar penonton dapat mencerap sumber audial yang tidak datang dari satu arah, sehingga suara aktor yang kadang jauh kadang dekat turut membentuk orientasi spasial bagi penonton yang matanya dibuat tertutup. Pada tataran simbolik saya juga menginterpretasi kelambu itu sebagai jarak tipis antara kita dengan kebutaan—perbedaan nasib antara orang non-difabel dan yang difabel bisa jadi setipis satu tragedi kecelakaan di jalan raya.

Dokumentasi pertunjukan Margi Wuta, foto oleh Iwan Prananto. Saya comot dari sini.

Ada penjarakkan yang dikonkretkan dan ditegaskan Margi Wuta lewat penutupan mata penonton dan pemencaran-penjarakkan lokasi duduknya. Tetapi praktik spasial ini justru menyodorkan moda kepenontonan yang menurut saya berhasil menciptakan keintiman antara mata penonton dengan mata aktor tuna netra. Konfigurasi tubuh penonton adalah bagian esensial dari teks pertunjukan. Masih ada lapisan kepenontonan lain dalam Margi Wuta yang akan terlalu mendistraksi jika dibahas di sini, namun intinya, saya merasa bahwa sepertinya teater dan pertunjukan yang tidak puas dengan konvensi selalu belajar bergumul dengan jarak dan penjarakkan dalam upayanya menciptakan persitiwa bersama.

***

Perkara percikan ludah dari Pamit Ronda telah membawa saya melantur sedikit terlalu jauh, dan ia menuntun saya pada pertanyaan-pertanyaan tentang politik tubuh, ruang, dan narasi kebersamaan yang kita hadapi selama pandemi korona ini. Saya ingin pamit dengan tiga pertanyaan lanjutan.

Pertama, konteks pandemi menghadirkan kenyataan di mana pengaturan jarak fisik semakin konkret, ia mengejawantah dalam bentuk stiker-stiker di lantai, di bangku-bangku, di lift, bahkan di jalan raya. Protokol pemeriksaan dengan alat deteksi metal yang muncul dan dinormalkan sejak tahun 2000-an setelah rentetan peristiwa teror bom kini mulai digantikan atau dilengkapi dengan pistol pengukur suhu tubuh yang menembak jidat pengunjung. Krisis menghadirkan momentum yang akan mengubah praktik keseharian tubuh kolektif kita; bagaimana sensibilitas emansipatoris tubuh-tubuh pertunjukan akan merefleksikan wacana pendisiplinan ini?

Kedua, dalam skenario pelonggaran pembatasan sosial berskala besar, pada tahap terakhir rencananya bioskop akan kembali dibuka dengan protokol pengosongan satu kursi antar penonton. Jika untuk waktu satu atau dua tahun ke depan kita terpaksa membiasakan relasi sosial tubuh kita dalam konfigurasi “masyarakat 1,5 meter,” bagaimana teater dan pertunjukan langsung akan mengelola distribusi ruang dan jarak penonton? Apakah mereka akan puas dengan meniru konvensi “normal baru” ini tetapi melanjutkan praktik seni “seperti biasa”, atau adakah strategi spasial alternatif yang melibatkan penonton untuk menubuhkan kedalaman ruang bersama di tengah masalah jarak dan penjarakkan?

Ketiga, keberadaan virus korona juga perlu dibaca sebagai metafora sosialitas manusia, sebab ia adalah modalitas untuk membangun keintiman politis. Pada tahun 1980-an virus HIV/AIDS telah mendorong aktivisme yang mengungkap praktik-praktik diskriminatif dan stigma terhadap pekerja seks dan komunitas gay. Virus korona memiliki karakter penularannya sendiri dan meski ia sering dianggap sebagai virus “universal”; pergerakannya pada saat yang sama justru semakin mengekspos diskriminasi kelas-gender-usia-ras-kewarganegaraan yang bersifat struktural. Realitas sosial virus ini dan bagaimana kita memosisikan diri di dalamnya adalah preteks ideologis untuk meredefinisi konsep dan praktik spasial-politis berbagai kerja-kerja kesenian yang berkiblat pada aktivisme demokrasi berbasis warga. Lebih dari kapan pun, di tengah kenyataan pembatasan fisik yang formasi perubahan permanennya belum kita ketahui, saya kira kita semakin membutuhkan imajinasi etis-estetis untuk menjemput pertanyaan; bagaimana koreografi tubuh sosial kita dapat ditransformasikan untuk bertahan hidup sembari menularkan keintiman politis di ruang publik?


[1] Tulisan ini sebetulnya terprovokasi oleh diskusi tertutup yang dihasut oleh Naomi Srikandi dan Joned Suryatmoko pada awal April 2020. Keduanya mengumbar pertanyaan: “Masih perlukah perjumpaan fisik dalam teater dan seks kita?” Dalam undangannya mereka menulis dengan kekenesan yang jenial: “Teater dan seks sama-sama meyakini pentingnya perjumpaan fisik, dan semuanya bubar karena Corona (Asuog! Mbut! %&*@*$#). Putus asa, tanpa tenaga dan pilihan lain keduanya mengalihkan medium secara virtual lewat berbagai pementasan dan kencan daring. Alih-alih menyibukan diri dengan keterputusasaan itu, obrolan ini justru membalik nalar: jadi kalau ternyata daring saja bisa, kenapa kemarin-kemarin itu kita harus bertemu? Ya dalam teater, ya dalam seks.”

[2] Yang menarik, menurut Mbak Verry dan Erlina, FAY berencana mengelilingkan pentas ini ke kampung-kampung.  Sepertinya kesadaran ruang mereka juga bersandar pada praktik kesenian sebagai bentuk politik kewargaan arus bawah. Akan sangat menarik melihat bagaimana FAY akan menegosiasikan ruang pertenjukan dalam konteks pertemuan fisik setelah korona mereda. Kita tunggu!

Leave a comment