Emak

Membaca berita itu membuatmu terisak. Kau terdiam dan menelannya. Kata Ibumu, “segalanya indah pada waktunya.” Kau berpikir betapa klisenya kalimat penenang itu. Seperti obat generik penghilang rasa sakit berkualitas rendah. Ketika kau mengabarkan berita itu kepada teman-temanmu, “Emakku meninggal”—air matamu baru tak terbendung. Beberapa detik. Lalu kau berpikir. Tuturan seperti kata-kata bergerak yang membobol pintu gelas kaca matamu. Kesedihanmu menggenang. Lantas kau mengepel lantai pipimu. Menarik nafas. Lalu melanjutkan rapat.

Kau merasa bersalah. Mengapa harus mengepelnya begitu cepat? Apakah hidupnya sedemikian tak begitu berarti untuk hening sejenak? Tapi berapa menit? Berapa jam? Atau berapa hari? Kau berpikir: hidup jalan terus. Yang sudah mati, mati. Kau membenci benteng pikiran rasionalmu.

Saudaramu mengirimi foto dan video Emak. Liburan keluarga, Bali, 2016. Memandangi fotonya membuat matamu kembali sedikit berair. Menonton videonya memasak membuatmu tersedu-sedu. Video itu merekam Emak mengajarkan kami para anak, mantu, dan cucu perempuannya cara membuat martabak shanghai. Ini momen pewarisan menu pamungkas. Empat mangkok tepung terigu dan dua butir telur. Garam dan gula secukupnya. Airnya dikira-kira, yang penting adonannya harus encer. Isiannya kentang lumat yang dibentuk bulat-bulat kecil. Lalu serutan bengkoang, dan buncis, udang, serta wortel yang dipotong dadu. Cetakannya harus dipanaskan dulu di dalam sepanci minyak supaya adonan tidak lengket saat digoreng. Masukkan adonan dalam cetakan, lalu kentang, lalu semua isian. Tutup lagi dengan adonan. Goreng sampai martabak lepas sendiri dari cetakan. Kami lupa merekam takaran resep sambal cukanya.

Beberapa hari sebelum Emak meninggal kau mengingat-ingat resep martabak shanghai Emak dan berencana membikinnya untuk ulang tahun temanmu di bulan Maret. Kau bahkan sudah membeli cetakannya lewat suatu online shop. Resep serupa martabak shanghai Emak tidak kau temukan di Google. Kau mengingat-ingat demonstrasi masak Emak di Bali tiga empat tahun lalu. Resep Emak adalah warisan pengetahuan biasa sekaligus spesial. Kini kau berpikir, cetakan punya Emak akan kau cari dan kau bawa pulang.

Emak adalah penguasa dapur. Memasak membuatnya berkuasa. Ia menjadi mandiri dengan memasak dan menjual kudapan di depan sekolah dekat rumah. Ia selalu bangga akan masakannya. Kembang goyang, martabak shanghai, ketan serundeng, ketupat ketan, pepes tahu.

Kau berusaha mengingat-ingat semuanya. Membuat daftar ingatan.

Kau teringat Emak memaksamu meminum air rebusan daun pepaya yang harus kau minum setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Warnanya hijau tua pekat. Ramuan yang membuat darah jadi pahit. Mujarab membuat nyamuk segan menggigit, kata Emak.

Kau teringat Emak pernah mengajakmu naik bus dua tingkat dari Kelapa Gading ke Pasar Senen. Kata Emak semua cucunya sudah pernah diajak naik bus tingkat. Kecuali Rachel, cucu terkecil. Lahir tahun 1997. Bus tingkat dua sudah punah di Jakarta. Kau sering teringat Emak ketika kau naik bus double-decker merah di London.

Kau mengutuki memori otakmu yang tak dapat diandalkan. Mengapa kau selalu kesulitan mengingat cerita masa lalumu dengan jernih? Kau iri pada orang-orang yang punya gudang penyimpanan cerita yang luas di dalam batok kepalanya. Kau tak punya cerita yang jernih. Ingatanmu buruk. Kau begitu mudah melupakan nama orang. Dan kau selalu takut lupa. Takut melupakan. Takut dilupakan. Kau ingin mengumpulkan semua yang bisa kau ingat dan merekamnya.

Kau teringat suaranya. Selalu kencang. Kencang sekali. Galak. Menyalak. Menggelegar. Tegas. Merepet. Kau ingat Emak pernah bilang dia pernah menghardik rampok yang menodongnya di lampu merah jalan Pasar Senen. Kata Emak nyali si rampok segera ciut seketika Emak mendampratnya.

Suara Emak membikin keki kalau pagi-pagi buta dia datang ke rumah dan membangunkan semua orang. Suara Emak sering jadi bahan kelakar benci-tapi-cinta di antara dirimu dan saudara-saudaramu. Kalau kau menelponnya, kau harus menjauhkan sedikit kupingmu dari telepon.

Kau memikirkan bagaimana rekaman foto dan video adalah sebuah monumen untuk apa-apa yang akan berlalu. Ia mengabadikan. Tapi kau selalu curiga dengan bagaimana pose dan pemosean mengabadikan, dan kau semakin mantap setelah membaca Roland Barthes. Kau selalu mencurigai dokumentasi tapi hanya di situlah kau bisa bernaung dan berlindung dari kenyataan bahwa memorimu yang hanya sanggup menampung ingatan sebesar flashdisk 512 MB. Kau menginginkan kenyataan mentah yang tak mungkin terekam sempurna. Kau menginginkan versi kasar realitas yang belum disaring dan diedit. Kau teringat Harry Potter dan teknologi foto yang bergerak-gerak. Kau berpikir betapa kau tak sanggup mengerti manfaat teknologi boomerang di Instagram. Kau teringat Barthes menulis Mourning Diary selama dua tahun setelah ibunya meninggal. Kau teringat Camera Lucida ditulisnya sebagai perenungan tentang kematian dan keabadian. Lewat tulisan kau membuat sebuah kolam penampungan untuk menceburkan dirimu. Kau menghindari aku-teks namun itu tak membuatmu bebas dari jeratan pose. Tulisan tak lebih baik dari rekaman foto dan video, tapi menulis bagaimanapun bisa sedikit melipur laramu. Kau teringat Archive fever. Paradoks arsip sebagai obat sekaligus racun. Kau mengutuki kespontanan referensi pedantikmu.

Kau sudah sadar kau harus merekam suaranya. 2016. Usia Emak saat itu 86 tahun dan kau tahu sejauh ini tak ada mahkluk yang pernah lolos dari kematian. Kau ingin merekam cerita hidupnya karena kau ingin percaya tak ada tak cukup berarti untuk direkam. Di dalam kolam penampungan yang kau buat, malu-malu kau katakan dalam hatimu: aku berenang tak untuk mencari harta karun kebenaran. Kau ingin berenang menyelami ingatan apa yang berhasil bertahan dalam tuturan Emak dan meloloskan diri dari sakratul lupa.

Emak cerita banyak fotonya yang terpaksa dibakar gara-gara takut geger 1965. Opa yang membakarnya. Pukimak! Makian favorit Emak. Kau berpikir mungkin Emak mewariskan kekasaran bicara tanpa tedeng aling-aling padamu. Foto Emak dalam gendongan Makco, ibunya yang mati muda, selepas turun kapal dari Cina Daratan sampai berlabuh di Belawan sudah tak ada. Tapi Emak mengingat keberadaannya dan mengutuki kehilangannya. Kongco, bapaknya, seorang supir angkot rute Barus – Sibolga. Opa, suaminya, pedagang rokok kulakan yang distribusinya sampai ke Padang. Emak di rumah, mengurus enam anak dan berjualan rokok eceran di teras.

Emak cerita tahun 1965 ia sendirian memboyong enam anaknya naik kapal dua harmal dari Medan ke Jakarta. Di Medan suasana mencekam. Emak melihat sendiri seorang pemuda Cina ditusuk di tengah jalan. Ususnya terburai. Emak lari pulang, segera mengungsikan enam anaknya ke rumah tetangga yang orang Batak. Emak ingat ada seorang kolega bernama Oom Dahlan yang menjaganya. Emak merasa selamat dari pembantaian massal karena bisa berbahasa melayu-indonesia dan batak. Orang-orang Cina yang tidak bisa bahasa lokal ditumpas habis, kata Emak. Seminggu kemudian Emak memutuskan pindah ke Jakarta, menyusul Opa yang berbisnis di ibukota. Ia harus pinjam uang karena itu masa-masa itu zaman “potong kepeng” (sanering). Untuk menuju Pelabuhan Belawan, Emak ditolong tentara KKO baik hati yang mengantarnya naik mobil. Bawa tempat tidur, sepeda, dua, mesin jahit, kata Emak.

Di Jakarta mereka tinggal di Gang Kawi, lalu pindah ke Kramat. Memulai hidup baru. Mereka sering pindah rumah akibat Opa sering apes di meja judi. Ini ingatan Ibumu. Kau berpikir setelah ini kau juga harus mulai merekam cerita Ibumu.

Kau pernah membuat satu rekaman lain obrolan dengan Emak, lebih tua dari 2016, kau lupa kapan tepatnya. Mungkin itu waktu kau mulai coba-coba jadi sejarawan amatir. Kau merekam cerita Emak di rumahnya di jalan Bondan. Kau mencari-cari filenya satu hari setelah Emak meninggal untuk melipur lupamu. Merekam adalah satu hal, merawatnya adalah hal lain. File itu tak bisa kau temukan, kau tak ingat benar apa isinya, dan kau mengutuki penyakit demam arsipmu.

Kau berpikir, mengapa fragmen cerita hidup Emak yang mampu kau ingat hanya cerita yang berhubungan dengan narasi-narasi besar sejarah politik? Bagaimana dengan cerita-cerita kecil lainnya? Apa lagu kesukaan Emak? Apakah Emak pernah jatuh cinta? Bagaimana cara membuat kembang goyang yang renyah? Daftar pertanyaan yang tak sempat kau tanyakan kepada Emak.

Kau tak ingat kapan terakhir kau bertemu Emak. Kau menyesal natal tahun lalu kau tak pulang ke Jakarta. Besok kau akan pulang, melihat jenazah Emak, mengikuti upacara tutup peti, dan menunggui proses kremasi. Kau tak akan tega memotret jenazahnya. Kau akan menangis, dan itu tak apa-apa.

Untuk Emak Alida Harun (Oei Siok Ai, 9 Februari 1930 – 24 Februari 2020)

Leave a comment