Ketika Perempuan Berkumpul

Catatan selepas mengikuti kegiatan Peretas Berkumpul 01 di Dodoha Mosintuwu, Poso, 21-25 Maret 2019. 

 Panggilan berkumpul

Apa artinya mengorganisir ruang perempuan sebagai ruang solidaritas?

Peretas (kolektif Perempuan Lintas Batas, didirikan Naomi Srikandi, Dhyta Caturani, Felencia Hutabarat dan Lisabona Rahman) membuka panggilan untuk lima puluh perempuan pekerja seni dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul selama lima hari lima malam di Dodoha Mosintuwu, organisasi yang berlokasi di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.

Redaksional panggilan acara Peretas Berkumpul menarik untuk ditelaah.

“Ajakan ini berlaku bagi siapa saja yang mendefinisikan diri perempuan, WNI berusia di atas 18 tahun (pada Februari 2019), pencipta (penulis, aktor, perupa, penari, pemusik, pesuara, perupa gerabah, perupa kain, peramu masakan, dsb), cendekia, kurator, kritikus atau pelaku kegiatan lain yang bersifat memperkaya dan memajukan ekspresi kebudayaan perempuan, bersedia terlibat secara penuh di dalam kegiatan Peretas Berkumpul 01 Pakaroso! Para perempuan pekerja seni yang sangat terbatas aksesnya (terancam ekspresi gendernya, penyandang disabilitas, ibu dengan anak yang masih menyusu atau lainnya) jangan ragu untuk melamar.”

Ajakan ini bagi saya adalah undangan untuk terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan penting seputar kondisi-kondisi menjadi perempuan. Pertama-tama, ia adalah ajakan untuk memaknai ‘perempuan’ sebagai spektrum ekspresi gender yang dapat diklaim dan didefinisikan oleh subyek yang otonom, bukan semata hasil dari kondisi biologis atau sekadar ditempa oleh konstruksi sosial. Saya tertarik dengan bagaimana perempuan berkumpul dalam kerangka pemikiran yang tidak sekadar mereafirmasi konstruksi dominan perbedaan gender dalam masyarakat. Bagaimana perempuan mendefinisikan dirinya bukan untuk menjadi tandingan identitas laki-laki dalam konstruksi oposisi biner? Bagaimana perempuan mendefinisikan posisinya sebagai cara memahami dan mengubah realitas?

Yang kedua, ia mengajak kesadaran akan kejamakan pengalaman kerentanan tubuh perempuan secara sosial dan biologis. Sehingga mereka yang paling pinggiran dari suatu daerah pinggiran, kalau boleh dibayangkan demikian, mendapat ajakan lebih khusus. Saya tertarik bergumul dengan kejamakan ini untuk memeriksa posisi bicara saya, mendefinisikan lagi dan lagi apa yang saya maknai dalam proses menjadi perempuan. Bagaimana perempuan berkumpul dapat mengurai kontradiksi-kontradiksi dalam kemajemukan posisi sosial untuk bersolidaritas dengan yang dipinggirkan?

 

Mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan perempuan

Kami berkumpul di Dodoha Mosintuwu, organisasi akar rumput yang menempati sebuah rumah bambu dengan arsitektur berbentuk tubuh ikan, terletak di tepi danau Poso. Dodoha Mosintuwu bekerja di bidang pendidikan dan pengorganisasian perempuan, salah satu programnya adalah Sekolah Perempuan, sekolah alternatif untuk perempuan dari berbagai desa, agama dan suku di Poso.

Sejak hari pertama, kami belajar menyerukan “Pakaroso!” dengan lantang dan gembira sebagai salam semangat. Pakaroso! dalam bahasa Pamona berarti “saling menguatkan,” dipinjam dari seruan gerakan lingkungan berbasis budaya, Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP). Sejak tahun lalu, APDP bergerak melawan kerja sama pemerintah dengan PT Poso Energy milik keluarga Jusuf Kalla yang berencana mengeruk daerah aliran sungai sepanjang 12 kilometer di ujung Danau Poso untuk memuluskan dua proyek PLTA. Seruan Pakaroso! dipopulerkan kembali oleh APDP untuk menandingi salam “Maroso”, salam yang berarti “kuat” dan dilatihkan pada masyarakat secara birokratis oleh pemerintah daerah. Dari seruan Pakaroso! saya terpapar pada konteks sosial politik ruang pertemuan kami, yang tengah bergolak menggetarkan keheningan permukaan danau di depan mata.

Lima puluh perempuan berkumpul, duduk melingkar dan saling memperkenalkan diri. Ada yang malu-malu, ragu, sedikit terbata-bata. Ada yang tampak sudah biasa, begitu percaya diri. Saya sendiri merasa agak kikuk. Saya terbiasa memperkenalkan diri secara profesional dan berjarak. Sementara di ruang Peretas Berkumpul, jalinan narasi personal dan profesional divalidasi, kalau bukan didorong hadir oleh Naomi Srikandi, anggota Peretas dan fasilitator kegiatan Peretas Berkumpul 01. Penuturan identifikasi diri sebagai penulis, perupa, musisi, pelaku teater, aktivis komunitas, antropolog, pekerja LSM, manajer seni, santri, arsitek, urbanis, dan seterusnya, berjalin dengan cerita sebagai single parent,  penyintas kekerasan, ‘ibu-ibu’…. Di antara kami, ada dua orang peserta masing-masing memboyong anak laki-lakinya yang masih balita. Celotehan atau rengekan anak-anak ini kadang lucu, kadang mengganggu. Interupsi-interupsi kecil ini bagi saya menghadirkan kenyataan beban peran ganda yang kerap harus dikuasai perempuan; sekaligus pengingat akan perbedaaan kerterbatasan (atau sebaliknya, ketersediaan) pilihan yang dimiliki masing-masing perempuan.

Tidak terpisahkannya yang domestik dan yang publik merupakan salah satu perspektif perempuan untuk menawarkan cara berpikir kritis atas pengelolaan ruang publik, konstruksi keluarga dan institusi kerja. Salah satu cerita sentral yang kami dengarkan bersama berasal dari pengalaman Dodoha Mosintuwu mengelola Sekolah Perempuan. Lian Gogali, peneliti dan aktivis yang mendirikan Dodoha Mosintuwu, menempatkan sudut pandang perempuan dalam proses rekonsiliasi pasca konflik komunal di Poso pasca Reformasi 1998. Keharusan seorang ibu pergi ke pasar untuk menyiapkan bahan hidangan di meja makan bagi keluarganya, membuat perempuan harus berhadapan dengan mereka yang dianggap musuh semasa konflik frontal—konflik yang memakan ribuan korban jiwa dan menghancurkan hati seluruh komunitas yang harus hidup melewati kerusuhan panjang. Rasa saling curiga dan trauma besar yang menubuh menjadi rasa takut sekaligus benci tidak begitu saja memudar setelah deklarasi damai dimediasi negara. Sekolah Perempuan menjadi ruang berkumpulnya perempuan-perempuan dari suku dan agama yang berbeda untuk saling menyembuhkan luka, berdamai dengan diri sendiri, dan dengan sosok musuh yang diciptakan oleh konflik komunal.

Kerangka pemikiran dan praktik solidaritas perempuan Dodoha Mosintuwu saya kira menjadi inspirasi penting bagi kami dalam bertukar pengalaman dan pengetahuan. Sudut pandang gender diarahkan untuk membaca persoalan-persoalan yang tidak hanya berhubungan dengan permasalahan ‘khas’ perempuan (misalnya hak kesehatan reproduksi atau kekerasan seksual berbasis gender—dua persoalan ini merupakan pesoalan struktural yang harus terus diusut, tapi di sisi lain juga dapat membuat perempuan terjebak dalam esensialisme biologis dan mengukuhkan konstruksi perempuan sebagai korban, alih-alih subyek yang berdaya dan mampu membebaskan). Bagaimana agensi perempuan sebagai subyek menawarkan pemikiran dan praktik kritis dalam berbagai penjuru politik kelas, diskriminasi ras dan agama, serta lingkungan hidup?

Saya mendengarkan bagaimana pengelolaan sampah yang diorganisir ibu rumah tangga berhubungan langsung dengan pemberdayaan ruang hidup warga miskin kampung-kota. Kegiatan merajut bersama di ruang publik berhubungan langsung dengan ekspresi aktivisme nirkekerasan. Pengetahuan resep jamu tradisional berhubungan langsung dengan pemulihan ekonomi rakyat pasca bencana. Pengorganisiran kolektif perempuan berhubungan langsung upaya membebaskan hegemoni budaya macho dalam skena subkultur. Pemulihan peran kepemimpinan perempuan di desa berhubungan langsung dengan strategi politik melawan perampasan tanah.

Ada berbagai tawaran etika dan estetika kerja seni-budaya dari sudut pandang kritis perempuan. Yang menarik dari pengetahuan teman-teman yang sempat saya cerap di sana ialah terbukanya ruang untuk berbagi pengalaman tubuh dan testimoni personal. Merasakan dan menalar tidak terpisahkan, keduanya dihargai sama pentingnya dalam proses saling bercerita dan mendengarkan. Rasanya seperti berada dalam lingkaran curhat yang kritis. Sedikit rentan sekaligus berani, mengundang tawa dan tangis, penuh perhatian serta rasa ingin tahu. Di sini saya merasa terus diberi kesempatan untuk melatih kemampuan mendengarkan dan memerhatikan, yang berharga bagi saya secara personal karena sebelumnya lebih terbiasa mempertahankan alih-alih mendengarkan pendapat.

Perempuan dilatih memaksa dirinya untuk terlihat kuat, agar dapat menyatakan “kesetaraan” dalam terma patriarki. Makna ‘kuat’ juga perlu dibongkar, karena kuat juga dapat berarti keterbukaan untuk menunjukkan kerentanan, suatu kemampuan yang saya rasa berada dalam tekanan ketika energi maskulin terlalu mendominasi. Saya mendengarkan keresahan perempuan yang mengkhawatirkan perkembangan karyanya selepas melahirkan. Rasa minder karena karya kerajinan tangan dianggap inferior oleh konstruksi seni yang dominan. Keraguan akan moralitasnya sebagai pengarang/pencipta ketika membuat karya partisipatif dengan komunitas terpinggir. Kebingungan berhadapan dengan absennya arsip dalam upaya menulis sejarah perempuan. Rasa lelah karena harus selalu memerankan sosok maternal ‘ibu’ dalam suatu kolektif. Berani menunjukkan kerentanan saya kira dapat membuka ruang untuk melatih empati, suatu bahan bakar afektif yang akan merawat praktik bersolidaritas.

Tidak ada definisi tunggal untuk identitas perempuan, dan tidak ada cara absolut untuk menjadi perempuan maupun untuk mengatasi masalah perempuan. Oleh karenanya, perbedaan konteks atas akses yang dimiliki perempuan harus diakui berhubungan dengan determinasi faktor lain; misalnya kelas sosial, kondisi biologis, lokasi geografis, dan situasi budaya. Dengan mengakui kompleksitas ini solidaritas pengupayaan kesetaraan antar perempuan dapat muncul sebagai proses pembebasan bersama. Mengumpulkan suara bersama berarti membebaskan diri dari posisi inferior yang kadang membuat seseorang minder dan takut bicara, atau sebaliknya, posisi superior yang membuat seseorang merasa paling tahu dan berhak bicara.

 

Struktur jamak perempuan berkumpul

Sampai di sini, saya menerka imajinasi kolektif ruang perempuan sebagai ruang solidaritas yang sedang ingin dibangun bukan untuk memberi panggung pada identitas kedirian individualis. Melainkan, ruang untuk memupuk pendirian perempuan kritis secara kolektif. Lantas bagaimana kejamakan pengalaman perempuan dapat hadir setara sebagai sumber untuk saling belajar dan menguatkan? Bagaimana kedirian-kedirian berkumpul dan memetakan pendirian-pendirian bersama, tanpa ada yang mendominasi?

Lingkaran besar kami dipencar menjadi lingkaran-lingkaran kecil selama beberapa hari berikutnya untuk memperdalam pengetahuan bersama berdasar topik atau praktik tertentu. Lingkaran-lingkaran kecil didirikan berdasarkan ketertarikan atau keresahan yang diidentifikasi masing-masing peserta. Kami berkumpul, bukan sekedar dikumpulkan panitia. Di sini, peran partisipan dikondisikan tidak tunggal. Ia bisa menjadi pengampu di satu lingkaran, dan menjadi peserta dalam lingkaran lainnya. Ia dapat mencerap dan dicerap. Saya misalnya, menjadi pengampu diskusi tentang etika kerja dengan komunitas, pendengar dalam diskusi strategi distribusi film komunitas, moderator diskusi tentang kolektif perempuan, penonton sesi workshop gerak. Dalam formasi tiap-tiap lingkaran, kami bisa belajar bersama tentang satu masalah, mengajarkan atau diajarkan pengetahuan dan ketrampilan baru.

Panitia Peretas mengacu kerangka berkumpul ini sebagai metode unconference conference. Suatu metode yang saya kira gagasannya dapat dipertajam dari perspektif gerakan perempuan. Dengan cara pengorganisasian ini, struktur penciptaan ruang perempuan yang dibangun bersifat jamak, tidak terpusat pada satu sumber yang dianggap paling berpengetahuan. Upaya distribusi kekuasaan dengan membuka pilihan untuk bertukar peran saya kira mengakar pada visi kepemimpinan perempuan yang menolak pembagian peran superior-inferior dan obyektifikasi dalam relasi kuasa patriarkis. Ini bukan berarti tidak ada kepemimpinan. Yang ditentang adalah akumulasi kekuasaan absolut, entah itu berbasis gender, kelas, pendidikan, atau tradisi.

Landasan pengorganisasian semacam ini juga bertumpu pada semangat solidaritas perempuan untuk berbagi dan merawat ruang (alih-alih berebut dan menaklukkan ruang). Pengetahuan seorang perempuan tidak diperuntukkan menindas pengetahuan perempuan lainnya. Dengan begini, kesetaraan pengetahuan bukan hanya tujuan akhir. Kesetaraan hak bicara dan berpendapat menyatakan pengetahuannya diupayakan sedari awal sebagai kesadaran bersama. Tidak mudah memang, kami harus memeriksa lagi apakah ruang perempuan ini telah benar-benar aman untuk semua orang bebas berbicara.

Saya tertarik membayangkan inisiatif Peretas Berkumpul sebagai eksperimen simulasi pengorganisasian dari sudut pandang feminis (akhirnya kata ini muncul J), yang mungkin dapat berkontribusi untuk wacana dan praktik pengorganisasian secara demokratis dalam masyarakat. Oleh karenanya kejamakan identitas perempuan berkumpul perlu diletakkan di suatu daerah pinggir perbatasan, daerah yang tidak pernah merasa telah final/lengkap mendefinisikan batas teritorinya. Berada di daerah pinggir perbatasan berarti terus memikirkan lagi bagaimana pengorganisasian ruang aman perempuan dapat terus mendorong batasan-batasan yang dibuatnya menuju keterbukaan radikal.

Sampai saat ini saya masih belum bisa membuat penyimpulan apakah ruang yang kami ciptakan bersama telah benar-benar terbuka menegosiasikan pengertian dan batas ‘aman’ bagi semua potongan subyektivitas perempuan yang ikut berkumpul. Empat puluh sembilan teman saya di sana, yang juga tengah (atau sudah) mengartikulasikan catatannya, masing-masing pasti punya konfigurasi keterlibatan dan pengalaman yang berbeda. Catatan saya hanya satu potongan subyektif dari posisi yang tidak mungkin mengetahui segala hal yang terjadi selama kami berkumpul. Kalau dipikir-dipikir hal ini justru baik adanya, karena ketidaklengkapan akan membuat saya harus memverifikasi subyektivitas pengalaman saya dan membandingkannya dengan pengalaman teman-teman saya yang lainnya.

Proses mengumpulkan agaknya terus berlangsung selepas acara Peretas Berkumpul.

***

Leave a comment