Akhir Kisah Cinta Panji Tengkorak

Panji Tengkorak adalah seorang laki-laki tampan, gagah, baik hati dan jago silat. Namun sayangnya, ia kurang beruntung dalam hal percintaan. Kalau saja Panji Tengkorak adalah artis sinetron, barangkali kisahnya sudah menjadi headline di berbagai media. Sayang, Panji tengkorak hanyalah tokoh komik belaka buatan Hans Jaladara.

Saya bukan penggila komik, apalagi komik silat. Kisah Panji Tengkorak pertama kali saya baca dalam kumpulan cerpen “Iblis Tidak Pernah Mati” karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam kumpulan cerpen itu, Seno menulis kembali cerita komik Panji Tengkorak dengan konteks berbeda dengan judul “Partai Pengemis.” SGA juga pernah menulis ulang cerita komik tersebut dalam kumpulan cerpen “Negeri Kabut” dengan judul “Panji Tengkorak Menyeret Peti.” Ketertarikan Seno terhadap komik ini berpuncak pada penelitian disertasinya di Universitas Indonesia tentang metamorfosa dalam tiga versi komik Panji Tengkorak dari masa ke masa.
Karena penasaran dengan “referensi” mas Seno ini (sebab beliau tampak cinta mati sama komik ini), akhirnya saya mencari-cari komik Panji Tengkorak yang ternyata sudah sulit ditemukan di toko buku. Dalam “Partai Pengemis”, ada tokoh perempuan bernama Walet Merah yang merupakan adik dari Mariani, pendekar silat dari perguruan Teratai Merah. Mariani adalah kekasih Panji Tengkorak (kisah cintanya agak rumit, akan saya ceritakan nanti). Walet Merah yang berjiwa muda dan masih labil, lari dari perguruan Teratai Merah karena suatu hal. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan Panji Tengkorak. Kisah Walet Merah adalah lanjutan dari komik Panji Tengkorak yang masih bisa saya temukan di toko buku Gramedia, karena terakhir diterbitkan tahun 1996 oleh penerbit Elex. Saya pun segera membeli 9 edisi komik Walet Merah dan keasikan membacanya. Namun, sampai saat ini saya belum pernah membaca kisah Panji Tengkorak yang asli sebab belum berhasil menemukan komiknya. Bagaimanapun, secara cukup mendalam saya memahami cerita Panji Tengkorak dari cerpen-cerpen Seno dan serpihan puzzle dari lanjutan kisahnya di Walet Merah.

Kembali ke kisah cinta Panji Tengkorak yang rumit, misteri asmara Panji Tengkorak tidak kunjung diselesaikan dengan “tuntas” oleh Hans Jaladara dalam Walet Merah. Panji Tengkorak, seperti sebelumnya telah saya katakan, amatlah tidak beruntung dalam urusan asmara. Ia terpaksa terpisah dari Mariani, cinta sejatinya, gara-gara terlanjur bersumpah pada Nesia, gadis cantik yang cinta mati pada Panji. Nesia, dalam keadaan sekarat dan dibutakan oleh cinta, meracuni Mariani agar Panji mau bersumpah untuk mencintainya, selalu berada di sampingnya dan tidak akan berpaling pada perempuan lain. Panji yang kala itu hanya memikirkan keselamatan Mariani, buru-buru mengiyakan saja permintaan Nesia. Akhirnya Nesia, sebelum mati di pelukan Panji, memberi penawar racun untuk Mariani. Mariani pun pulih, namun Panji yang terlanjur bersumpah pada Nesia akhirnya memilih untuk merantau, pergi meninggalkan Mariani cinta sejatinya. Kemanapun Panji pergi, ia menyeret peti mati Nesia sebagai bukti akan sumpahnya sebagai pendekar sejati. Di kemudian hari, atas saran seseorang, Panji membakar peti mati Nesia dan menyimpan abunya dalam liontin sebuah kalung yang selalu dipakainya. Namun sampai kapanpun jua, cinta Panji dan Mariani selalu menjadi sebuah roman kasih tak sampai.

Saya pikir kisah asmara Panji Tengkorak memang akan berakhir tragis seperti Romeo dan Juliet. Namun ternyata saya salah. Baru saja kemarin saat sedang melihat-lihat buku di Gramedia, saya tak sengaja melihat “Kumpulan Cergam Kampungan” terbitan ruangrupa. Saya tidak bisa menceritakan keseluruhan isi buku tersebut, karena buku itu tidak saya beli, melainkan sekedar baca di tempat. Dalam kumpulan cergam itu, terdapat komik karangan Hans Jaladara dengan judul “Cinta di Senja Hari”. Ah, jangan-jangan inilah akhir kisah cinta Panji Tengkorak. Saya super penasaran dan segera membacanya. Ternyata benar, di sinilah, di kumpulan cergam Kampungan inilah Hans Jaladara menorehkan akhir kisah cinta Panji dan Mariani.

Saya buru-buru membacanya. Dan jujur, saya kecewa. Saya tidak tahu, apakah karena judulnya “Kumpulan Cergam Kampungan” jadi konsep ceritanya memang harus kampungan? Saya belum mencari tahu lebih lanjut tentang proyek ruangrupa yang satu ini. Yang pasti, “Cinta di Senja Hari”, sebagai akhir dari kisah percintaan Panji Tengkorak dan Mariani yang sangat rumit dan berliku-liku, terlalu disederhanakan. Dalam cergam ini dikisahkan, bahwa suatu ketika, adalah seorang pemuda bernama Dago (kalau tidak salah), seorang pendekar muda dari Perguruan Tujuh Bintang yang tak sengaja menemukan topeng dan sapu tangan pemberian Mariani milik Panji Tengkorak. Dago, yang telah mengetahui kisah legendaris Panji Tengkorak di dunia persilatan, penasaran dan ingin mengembalikan barang-barang itu kepada empunya. Dari pesan yang ditulis Mariani di sapu tangan itu, Dago tahu bahwa Mariani adalah murid di perguruan Teratai Merah. Dago pun mencari perguruan tersebut dan menemukan Mariani. Dago pun bertanya pada Mariani sekiranya ia tahu dimana Panji sekarang berada. Mariani, yang kini adalah seorang pertapa terpana mengetahui bahwa sapu tangan yang dulu ia berikan masih disimpan oleh Panji, walaupun kini tercecer. Namun Mariani tidak tahu dimana Panji berada. Dago pun pamit dari Perguruan Teratai Merah, dan tiba-tiba saja kabut tebal mengitarinya dan dari balik kabut itu munculah sosok yang dicari-carinya: sang legenda dunia silat: Panji Tengkorak.

Dago langsung menyampaikan maksudnya untuk mengembalikan topeng tengkorak dan sehelai sapu tangan. Ia juga bercerita tentang pertemuannya dengan Mariani. Sampai di sini, untuk mempersingkat tulisan ini, Dago tiba-tiba menasehati Panji Tengkorak untuk kembali pada Mariani. Panji menceritakan mengapa ia tidak bisa melakukannya, dan Dago, dengan sangat klise menyarankan Panji untuk segera menemui Mariani.

Begitulah, akhirnya Panji menemui cinta sejatinya di Perguruan Teratai Merah. Mereka berpelukan mesra, karena rindu yang amat mendalam. Yang menarik, akhir cerita ini tidak ditutup dengan kisah yang terlalu sempurna, karena tiba-tiba munculah guru Mariani yang marah-marah karena harusnya Mariani tidak boleh bertemu dengan Panji karena ia saat iniadalah seorang pertapa.

Seperti saya katakan, walaupun amat penasaran dengan akhir kisah cinta Panji dan Mariani, saya tidak menyangka bahwa kisah cinta mereka akan berkahir dengan sangat klise. Banyak pula celah-celah aneh dalam kisah ini, seperti misalnya kenapa Panji yang sangat tinggi ilmu silatnya bisa kehilangan topeng dan sapu tangannya, atau kenapa Dago tiba-tiba bisa bertemu Panji dengan sangat ajaib. Penyelesaian kisah cinta ini terlalu sederhana dan klise dibanding kisah petualangan Panji sebelumnya yang berliku-liku, rumit namun tetap memiliki alasan rasional.

Entahlah, apakah kisah ini adalah salah satu efek dari metamorfosa komik Panji Tengkorak sebanyak tiga kali, yang ternyata bukan saja berubah dalam cara menggambar tapi juga dari segi penulisan cerita. Mengutip SGA untuk menutup tulisan ini :
“Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata, Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunjukan yang gagal!”

9 Comments

  1. Setau saya Mariani itu bukan cinta sejati Pandji deh, kalo gak salah diakhir cerita Mariani dan Warti kembali berkumpul dengan keluarganya (paman uhu) karena sebenarnya mereka keturunan seorang putri.
    Pandji punya hutang budi kepada Mariani saat kehausan ketika memasuki desa kidul disinilah pertemuan pertamanya dengan Mariani. Dan satu lagi Pandji sebenarnya sudah pernah menikah tetapi istrinya terbunuh oleh dua ninja kembar dari jepang yang ingin mengambil kitab racun milik guru pandji (nagageni) yang berasal dari aliran sesat.
    Cerita Pandji tengkorak bisa dilihat dari beberpa sisi kalau pemilik blog melihat dari sisi kisah cintanya kalau saya cenderung lebih kearah kesetiaan, rendahhati dan pejuang kebenaran.
    Kesetiaan = rela menarik peti mati demi memenuhi janji kepada Nesia yang sebenarnya tidak dicintai
    Rendahhati = tidak mungkin paras Pandji hanya pas-pasan karena banyak wanita yang menyukainya (mariani, nesia, andini, dll) tapi dia lebih memilih menggunakan topeng tengkorak dan baju pengemis
    pejuang kebenaran = terlahir sebagai anak dari kebobeok (penjahat kejam) dan berguru pada nagageni (aliran sesat) tetapi lebih memilih kebenaran
    Kisah Pandji tengkorak tidak dapat dipisah kan dengan serial walet merah (menurut saya malah intinya di serial ini) dan untuk asal usul perguruan teratai merah (brahmana, muri, nila, dll) kita juga harus membaca serial drama digunung sanggabuana mungkin bisa dibilang semacam trilogi

    1. saya ingin mengklarifikasi beberapa hal:
      1. saya setuju dengan awal kisah cinta panji tengkorak dengan mariani yang anda sebutkan (yang bisa dibaca di seri panji tengkorak), namun saya tidak sedang bicara ttg masa lalu tersebut, sebab saya hanya mengulas sedikit latar belakang kisah cinta Panji.
      2. mengenai akhir cerita dimana walet merah dan mariani berkumpul dengan keluarganya, itu adalah akhir cerita di seri walet merah, dan saya jelas menulis di sini, akhir cerita dari lanjutan Jaladara dalam komik pendek berjudul “Cinta di Senja Hari” dalam kumpulan komik kampungan terbitan ruangrupa.
      3. mengenai komentar anda ttg kesetiaan dan kerendahhatian, silahkan saja, walaupun itu di luar konteks tulisan saya. maksud saya menulis posting ini, sebetulnya adalah untuk menuju kesimpulan dalam paragraf terakhir yang saya kutip dari SGA. saya jelas tidak sedang mengkritik karya Jaladara dalam Panji Tengkorak dan Walet Merah, melainkan saya sedang mengkritik lanjutan kisahnya dalam “Cinta di senja hari”, dimana menurut saya banyak ketidakrasionalan dalam kisah tersebut.
      4. drama di gunung sanggabuana saya sudah baca, dan saya paham hubungan antara kisah walet merah dan panji tengkorak, namun hal tersebut sedang tidak kontekstual dengan maksud tulisan saya.

      salam,

      BI

      1. yah kok jadi begini ? padahal gak maksud mengkritik loh :p
        salam kenal deh sesama pecinta pandji tengkorak :)

      2. Saya menerima kritik (walau anda tidak bermaksud mengritik) dan tentu saya memiliki pertanggungjawaban terhadap tulisan yang saya buat, agar tidak perlu ada salah kaprah dalam menangkap tulisan :)

        salam,

        BI

  2. Iseng saja, saya ketik panji tengkorak di google. Eh, ternyata ada yang membahasnya dengan “serius”. Nice.
    Saya juga tahu kisah panji tengkorak dari tulisan Seno. Luar biasa sekali gaya Seno, sehingga dijamin banyak orang yang jadi penasaran dengan cerita aslinya.
    Dari “diskusi” anda berdua, menurut saya pujian sepertinya harus diberikan kepada Seno, yang berhasil memperindah kisah yang sebenarnya tak lebih istimewa dibanding cerita2 silat tanah air lain menjadi karya sastra yang mengharu biru.

    Salam kenal,

    Nanda Satya

  3. PANJI TENGKORAK ADALAH LEGENDA, SY SUKA DENGAN CERSIL WALAUPUN SY TDK TAHU BETUL CERITA PANJI TENGKORAK. PANJI TENGKORAK BISA DI SEJAJARKAN DENGAN WIRO SABLENG

Leave a reply to brigitta isabella Cancel reply